Langsung ke konten utama

Rindu Jalan Pulang


   Semenjak hari itu, tidak terlihat lagi cerah mentari pagi di ufuk timur di balik bukit nan jauh di sana. Sebab di sini semua terlihat begitu bulat kelam, berbeda dengan kondisi di rumah. Kala ku tahu semua akan berlangsung lama, mungkin saja aku sudah menghentikannya sedari awal. Tapi apalah daya, semua sudah tersurat. Dan aku sudah memilih. Bertahan saja rasanya hari ini tidaklah cukup. Apalagi dalam diam, dendam dan rindu semakin berkecamuk. Hujan turun di senja hari ini adalah pemicunya. Aku kuat! Rintik kembali berbisik melemahkan jantungku akan rindu. Sssst! Dialah yang terbaik.
Dalam rasa yang semakin berdebar ini. Keraguanku semakin kuat. Jantung ini sakit menahan kenyataan yang di perlihatkan. Tidak ikhlas rasanya hanya sekedar teman.  Padahal apa yang kau sampaikan begitu jelas, tegas dan kuat sehingga menyayat. Ada dua rasa yang berkelebat. "Datangilah, dia milik mu" atau bisikan kekuatan "bertahanlah cinta itu hanya Allah yang memiliki, dia hanya hamba" keduanya saling berbisik menekan dalam dada. Sangat kuat. Hingga hari ini yang ku pilih hanya diam sebagai jalan terbaik. Merenung dan menatapmu membuat hati menjadi kejam dan tangan semakin kasar. Bersikap berlebihan membuat diri tidak terkendali. Jujur, apalagi senyum mematikan itu, tidur pun aku hasutan buruk masih bermain di kepala. 
   Permainan sang penggoda hati memanglah hebat dan menakjubkan. Datangnya pun tak kalah berperan. Dari mana pun bisa di raih apalagi diri ini hanyalah makhluk lemah yang sangat banyak kekurangan yang terlihat. Apapun dapat menarik hati ini. Terutama kamu yang begitu memberikan perhatian lebih. Mengutamakan rasa aman yang belum pernah aku rasakan sebelumnya dari siapapun. Semakin lama menghadapi apapun bersama tentu saja benih-benih cinta akan muncul. Hingga tiada yang terfikir hanya merindu, palsu. 
   Tak akan kuat mata bersedih dalam duka apabila rasa ini hanyalah pemberi bumbu manis di saat ku sendirian. Pemilik kamu hanyalah Dia. Aku sebagai peminjam ini mencoba untuk menjagamu barang sekejap agar aku bisa merasakan bahagia atas rasa yang telah diri-Mu ciptakan. Tapi aku takut! Ini masih belum hakku.
   Disini aku kembali merenung. Apakah aku masih pantas menjadi baik atau sudah berjalan terlampau jauh? Terkadang mata ini menatap terlalu jauh ke atas langit kini gumpalan awan kelabu meraup cahaya sehingga melihat kedepan pun hanya seperti bayangan. Dalam pandangan mata yang kosong seolah semua menatapku dengan hinanya. 
   "Hei...! Kau disana? Apakah aku terlihat buruk sehingga tatapanmu itu terlihat mengenaskan? " teriakku pada seorang sepertinya sengaja melihatku berlama-lama. 
Dia pun tak menjawab. Hanya kabur dengan sedikit ketakutan sebab ketahuan olehku sudah memperhatikan. Aku tak mengenalnya tapi saat melihat ke arahku dia seperti merasa kasihan. Ah, sudahlah. Aku sudah tidak peduli....
□□□
   Dalam beberapa bulan terakhir banyak sekali hal-hal yang tak di sukai muncul. Acap kali bersikap lesu dan tidak mau banyak bergerak padahal target sungguh bejibun di depan mata. Ingin rasanya menjadikan pilihan orangtua lebih utama. Namun, fikiran dan mata berkilah lain. Ingin mencoba ini dan itu. Sangat banyak yang sudah kulakukan tapi puas itu sulit sekali tercapainya. 
    Apalah daya tangan dan kaki masing-masing hanya dua. Dan aku rasa itu sudah cukup. Target yang jumlahnya selebar kitab pun akan tercapai juga, asalkan fokus, teratur dan menikmati waktu yang melewatinya.  
   Mengungkapkan memang mudah, semudah membalikkan telapak tangan, dalam kenyataan tak sesuai. Lebih sering membenar-benarkan kesalahan diri daripada melakukan dengan benar. Salah satunya masih pilah-pilih mengerjakan mana yang di sukai. Seharusnya dijalankan sesuai kebutuhan bukan keinginan. Dan inilah yang membuatnya fatal. Malas sudah merembes kepada masa depan.
   "Hai, Ni. Kapan wisuda?" sorak Salma dari kejauhan.
   "Hemmm..ammm.. InsyaaAllah, segera. Doakan saja Ma," balas Ani sambil melirik lemas. 
Salma kemudian duduk didepan Ani sambil memperhatikan wajah Ani yang sudah seperti panda berbadan manusia yang tidak makan sebulan. Cuma dia tidak berkomentar dan lebih memilih sibuk dengan chattan di WA. 
  "Eh, by the way udah pesan makanan belum Ni? aku mau pesan nih." 
  Ani pun mengangguk sambil tersenyum. 
   "Oh, ya sudah." sambil memanggil waitres untuk membuat pesanan. 
  Sementara salma memilih pesanan. Ani malah asyik tidak jelas dengan menggeser-geser layar hp dan melirik setiap---sebentar pesan yang masuk di WA. Bukan ada chat penting sih, tapi cuma sekedar menghilangkan kegundahannya saja. Sebab tidak tahu mau mulai curhat dari mana dengan Salma. Sebab Ani merasa masalahnya sudah overdosis. Jadi sulit untuk dia ceritakan.
   "Eh, Ni. Katanya mau curhat...?” 
   “Hiks, lupa. Tapi kayaknya ga jadi aja Sal. Mood aku buat bercerita lagi hilang nih” balas Ani sambil nyengir.
   “Ya, elah segitunya. Apa karena aku datang telat tadi ya...?”
Sebenarnya ingin sekali bercerita dengan Salma. Aku suka bercerita dengannya sebab dia orangnya senang mendengarkan ceritaku, tanggapannya bagus dan ramah, terus dia orangnya juga solutif, penyayang dan yang paling penting dia tidak ember.  Apalagi saat ini sangat banyak sekali masalah yang sudah aku pendam sendirian. Akhir-akhir ini aku juga sering down dan menangis sendirian. Semuanya aku tutupi dalam-dalam biar tidak ada orang yang tahu. Tapi hari ini aku ingin sekali bercerita.
   “Ma. Kamu pernah ga merasakan sangat ingin memiliki, terus kamu ungkapkan dalam bercanda. Terus dia tersebut malah menganggap kita hanya saudara?”
   “Eh, suka sama seseorang gitu? Kita kan seorang akhwat mana boleh pacaran An, Allah aja sudah melarang tapi kamu...” Salma sedikit terkejut.
   “Bukan gitu juga sih Sal, aku cuma cerita aja. Ga benar kok.” Tukasku balik.
   Kemudian aku diam lagi. Jika di fikir ulang memang aku salah dalam mencintai. Sebab perlakuan berlebihan belum tentu bisa dikatakan dengan cinta. Cinta memang suci tapi kalo dikerjakan tanpa ada akad yang sah meliputinya tidak benarlah jalannya. Yang ada bukan memupuk cinta akan tetapi malah akan mendatangkan bencana dan kehancuran. Benar, aku sudah tahu. 
□□□
   Sayang, aku masih sadar dan masih menginginkan cinta Sang Khalik meski dirimu lebih memikat hatiku saat ini. Berat memang bertahan dalam kondisi yang rawan dan butuh perhatian seperti saat sekarang ini. Bahkan aku mencoba berkilah pun masih saja sering melakukan kesalahan. Mudah baper dengan senyuman yang tak tahu itu hanya sedekah biasa. Sering terpukau dengan bahan-bahan ungkapan ta’aruf yang tak kunjung berujung lamaran. Huft, ternyata aku memang mahasiswi tingkat akut yang ga sanggup skripsi lebih memilih walimahan. Pikir lagi!.
   “Dorrrr... kok melamun kamu An?” 
     “Aaaargh... Apaan sih Sal. Aku ga ada memikirkan apa-apa koq. Cuma lelah aja.” 
   “Ya sudah. Habisin makanan kamu tu, udah dilalatin dari tadi tuh. Sudah hampir sejam nih. Emang kamu ga ada kegiatan hari ini ya?” Salma membalas sedikit kesal.
   “iya.” Jawabku pendek.
□□□
  Hampir seminggu berlalu semenjak perjalanan berdua yang penuh dengan rasa bersalah itu berlalu. Aku merasa bersalah sebab setiap apapun kajian yang aku dengarkan, nasihat yang disampaikan dan senior manapun mengungkapkan masih saja melarang berteman akrab dengan lawan jenis apalagi bukan saudara atau mahrom. Apa karena ini terjadi karena orang-orang terdekat kita masih sama perbuatannya dengan kita dan akhirnya membenarkan diri sendiri?
   Aku masih takut dengan manusia dan akhirnya aku masih menjalani hubungan tanpa status itu dengan sembunyi. Ya, aku tampak alim di luar namun manja di media sosial. Memang aku bukan tipe orang yang suka berbicara lewat telepon tapi dalam chatingan udah seperti perhatian sama adik kandung. Sungguh kasihan. Menjaga adik orang pandai tapi adik kandung sendiri masih malu menghubungi dan memperhatikannya. Situ sehat?
   "Aku rindu... rindu dengan jalan pulang yang lurus. Bersolek kebaikan dengan berpakaian takwa yang akan membawaku pulang bergandengan menuju langit. Dimana tak ada keindahan di dunia yang menyerupainya. tak terduga oleh fikiran dan bayangan mata manusia.
 Aku rindu jalan pulang. Dimanakah tempat yang menenangkan hati dan fikiran akan kerasnya perjalanan. Sudah banyak persinggahan yang telah di lewati dengan berbagai gerilya yang menghadang. Dalam rasa yang telah berlalu. Entah kapan akan berakhir dalam perjanjian. Setengah agama itu masih saja dalam hayalan. Hujan saja telah turun memberikan kode berpekan-pekan. Masih saja surut tak berpindah haluan.
   Tidak ada yang tahu kecuali langit dan hujan yang turun di senja itu. Gemuruh ikut berkutat menyesak malam agar tak ada yang bergerak hingga kaki kaku dan kalu menentang perjalanan. Ya, dia masih mencoba menyisik sebuah kepastian. Dalam-dalam nafas ini menarik udara yang semakin sesak di kotori oleh kepalsuan. Disanalah datangnya rasa tidak saling percaya lagi. Hari ini, esok, lusa dan terulang kembali. Masih rindu... Jalan pulang itu dimanakah arahnya...?”

Padang, 13 Desember 2018

Biodata penulis:
   Bernama Welidayani, di lahirkan di gubuk kecil desa Ulu Bangau pada 25 oktober 1994 silam. Nama Pena: onni_weli sekarang kuliah di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Angkatan 2014 Fakultas Teknologi Pertanian di Universitas Andalas. “Menulis dengan Hati, Mengukir Prestasi”. Pernah juara 1 Lomba Memanah tingkat Universitas Andalas 2017 dan ditahun yang sama memperoleh juara 2 Kompetisi Ide Bisnis tingkat Kota Padang tahun 2017, pernah juga menjadi Direktur Keuangan Terbaik di Imapela Award Camp 2018 di kota Malang, pernah -ikut lomba kepenulisan dan baru menjadi penulis terpilih di beberapa event. “InsyaaAllah, sedang mecoba mengukir prestasi dalam dunia literasi, menurutku prestasi terbesar dalam literasi itu adalah karya yang memberi manfaat dan menjadi contoh dalam berbuat.?”

  Wassalam

Komentar

Posting Komentar