Langsung ke konten utama

Amukan hati dalam diam

Amukan Hati dalam Diam
By: onni_weli

       Sore itu  aku menengok kearah jendela kayu rumah tua yang berada dipojok jalan yang berdiri kokoh sendirian ditengah luasnya semak belukar, panjangnya aliran sungai yang membingunkan. Semua terasa begitu mencekam dikala mentari sore beranjak meninggalkan mulai Smenenggelamkan diri ditengah lautan. Begitu berat yang kurasakan saat harus bertemu malam. Hanya sebuah lampu minyak yang berukuran kecil yang menemani.
Masih diujung sore itu, dengan krasak krusuk aliran sungai yang memanjang disepanjang jalan yang tak tau sampai dimana ujungnya. Terlihat beberapa anak-anak kecil mandi ditepi sungai, mereka melompat secara bergantian.
       “Byuur...” begitulah bunyinya. Mereka melompat seperti seseorang melepaskan kekecewaan mereka dengan negeri ini. Begitu keras dan sesaat membenamkan kepalanya sedikit lama kedalam sungai tersebut. Berharap ada rasa ketenangan dalam ragu-ragu yang semakin memanas dalam dada ini. Setiap hari ada banyak hal yang membingungkan muncul menyiangi layar televisi dikedai seberang jalan itu.

        Semoga hari ini menjadi permulaan kesuksesan dimasa mendatang, sebab semua perjuangan yang keras akan membuahkan hasil yang nyata dan manis. Sebelum itu ada banyak hal yang memilukan menimpa batin ini, mengguncang jiwa dan kehidupan. Bahkan terasa tidak ada putus-putusnya menerkam benak yang keras ini.
     Detik-detik waktu terus berjalan hingga jejak luka lama mestinya mulai mengering kian menghilang.
“Adiba... Adibaaa... kapan kamu akan bangun, hah?!” Mama memanggilnya dengan nada sedikit keras.
       Adibah tidak mengacuhkan panggilan Ibunya, dia terus saja menikmati mimpi terindahnya itu. Apalagi dengan memikirkan dunia nyata sungguh lebih baik dan bahagia menikmati kehidupan dalam hayalan. Apapun bisa dilakukan dan diatur sedemikian rupa.
      Dalam dunia hayal apapun yang menurut kita menarik bisa dilkukan tanpa harus ada yang mencemooh apalagi membully. Hidup dalam settingan sendiri begitu sangat menyenangkan.
       “halo semua, ayo bergabung dalam dunia hayalku. Disini kita kalian akan hidup teratur dan bahagia bersamaku. Ayo kita berpetualang dalam dunia binatang” Adiba berbicara sendiri dalam tidurnya.
          “halo aku Momon, dari dunia hewan yang paliiing jauh dari lubuk hatimu... hik hik. Semoga kamu betah bersamaku mengitari samudra pelangi yang penuh dengan kegembiraan ini. Halohalohaaa...” Momon sikucing genit merayu Adibah.
        Adiba tersenyum bahagia, disini semua serasa menyenangkan. Ditemani siMomon yang lucunya pake banget. Dengan bulu putih yang panjang dan tebal, ekor menari-nari sambil merayu, apalagi ditambah dengan mata sipit badan gemuk jadi mau meluk terus dan dibawa kemana-mana. “Aduh... sayangnya diriku..”.
       Diatas kasur yang empuk dilapisi dengan selimut tebal yang nyaman membuat Adiba seakan menjadi seorang putri manja yang tak kuat membuka mata. Semuanya berat, bahkan pelukannya menggenggam siMomon malah semakin kuat. Digoyang-goyangkan pun badannya tak membuatnya bangun dari tidurnya.
        Hari ini kan hari libur, mana mungkin Adiba mau melewatkan kesempatan tidurnya bersama Momon dan memilih untuk bangun meninggalkan ranjang empuknya. Kali ini pun, rasa lapar tidak dipedulikan lagi. Sekarang waktu hampir saja menunjukkan pukul 6.30 WIB.
“Byuur....” terdengar guyuran air satu ember membasahi badan Adibah sampai basah kuyup. Ditambah ceriwisan mamanya sambil menghilang kearah dapur melihat masakannya yang hampir matang.
      “Aaaaargh... Mama, hari ini kan hari libur! Kenapa harus bangun pagi-pagi sih?” sambil membawa gulingnya yang disangka Momon ketika berjalan menuju sofa ruang tengah dengan mata memicing. Dari kejauhan mamanya kembali bersorak, meneriakinya agar segera mandi dan bersiap-siap kesekolah. “ Adibah...! kata siapa hari ini libur. Hari ini hari senin ya, jangan pura-pura lupa begitu. Jangan banyak alasan kamu ya sayang ya, sudah basi!” tukas mamanya yang sedikit panas mendengarkan alasan Adibah.
        “waik! Benarkah hari ini senin? Kata Momon tidak ada hari senin dalam kamusku, ma” timpal Adibah polos.
       Beberapa saat setelah menyahut ucapan mamanya, Adibah langsung lari tunggang langgang menuju kamar mandi. Tidak tau lagi apa yang harus dilakukan pertama kali. Dia berputar kesana kemari. Bolak-balik kamar, buka-tutup lemari sampe-sampe semuanya kayak disebuah kapal kalo lagi badai gelombang terus mengobrak-abrik isi seluruh kapalnya.
        Hayalan memang tak membuat kenyataan, terkadang kita hanyut menyelimutinya. Mengikutinya bahkan sampai mencari arah kemana alurnya akan bermuara. Semua serasa begitu mudah bahkan sangat mudah. Seperti tidak ada alur runcing yang menitik sedikitpun menghiasi ceritanya.

Sepulang dari sekolah, tidak lazim rasanya jika tidak singgah sebentar ditepian sungai itu, sambil duduk-duduk memandangi aliran sungai yang begitu deras. Saking derasnya jika berbicara normal tidak akan pernah terdengar suara ketika memanggil seseorang. Namun, merenung ditepi sungai diatas bebatuan itu begitu menyenangkan. Semua membuat begitu nyaman dan menenangkan isi kepala.
         Semakin lama membuat diri terhanyut alir sungai terbawa arus entah kemana. Terkadang berfikir bahwa jika ada hari esok maka semua tugas dalam muka bumi ini akan dihapuskan. Atau semua sungai dimuka bumi ini dipenuhi oleh pangeran-pangeran yang baik hatinya kemudian membawaku ke negerinya yang dipenuhi dengan taman-taman bunga yang indah. Berjalan dipagi dan sore hari dengan dayang-dayang yang mengenakan gaun putih dengan penutup kepala seperti pengantin. “Eeeeh... Loh akunya pake apa dong, kalo dayang pakek baju pengantin?” Adibah sambil berfikir kemudian meneruskan lamunannya.
“hemmm, aku pake baju kebesaran aja kali ya...?” berbisik sambil menatap langit.
Kemudian beberapa saat kemudian lamunan Adiba buyar setelah melihat kejadian ayah dan mamanya berlari-lari sambil berteriak-teriak menuju arah tepi sungai dekat dengan dirinya duduk termenung. Beberapa kata kasar keluar diantara mulut keduanya. Melihat kejadian itu membuat adibah semakin sedih. Bagaimana dia tidak sedih. Setiap kali pertemuan anatara Ayah dan Mamanya tidak apernah ada kelembutan diantara mereka. Selalu saja ada yang dipermasalahkan diantara mereka. Dimulai dengan status adiba, perselingkuhan ayahnya, bahkan sampai dengan masalah kecil yang dirasa tidak perlu dipanas-panasi dengan bensinlah.
Bukankah dahulu pernah ada rasa cinta diantara kita, mungkin kini tinggal kenangan yang hanya menjadi impian lagi dihati ini. Ingin rasanya menyelami sungai ini hingga kehulunya agar lupa jalan kembali untuk pulang. Agar hati mereka bahagia dengan kepergian ini. Akan tetapi disisi lain ingin sekali melihat mereka akur dan merendahkan hati mereka untuk tetap bersabar agar aku disini tidak ikut-ikutan hancur dalam amukan badai pada diri mereka.
Sudahlah... terkadang kepala juga cukup lelah untuk memutar balikkan masa lalu. Semuanya direset agar masa lalu tak mengenang keburukan. Padahal dahulunya semua juga pernah saling tersenyum, tertawa dan bahagia.
Memang tanaman yang besar dan kuat itu terkadang ada virus juga yang menjangkitinya sehingga daun-daunnya layu bahkan membusuk. Tidak daun saja, dari batang hingga ke akar banyak hal yang menyakiti serat-serat kerasnya sehingga menjadi lapuk. Dan akhirnya roboh diusia yang belum begitu tua. Baguslah jika tanaman itu mati dan roboh. Jika tidak mati ataupun roboh, maka sangat banyak hal yang mengkhawatirkan dalam hati mereka  yang menggerogoti semua yang lewat didekatnya. Begitu juga yang terjadi hari ini. Bukan kemiskinan saja yang membuat mereka perang, kejujuran dan keikhlasan diantara mereka yang semakin menipislah yang membuat adanya onggokan api kecil menjadi besar diantara mereka.
“Aaaargh.... Habiskanlah semua. Dan lakukan sesuka kalian” Adibah berteriak sambil berlarian meninggalkan keributan itu.

      Tidak terasa hari semakin sore. Adiba tidak beranjak dari kasurnya dengan pintu kamar yang terkunci. Setiap kali ayanhnya pulang Adiba selalu mengunci pintu kamarnya dan diam tak bersuara. Terkadang sampai berhari-hari. Memang jika hati yang sakit semuanya terasa tidak mengenakkan. Bahkan menatap dunia pun seperti lembah duri yang tidak ada habisnya. Berdiri sakit, berjalan sakit, bahkan membuka mata pun terasa sakit. Luka dimana-mana. Tak ada yang mampu mengobati.
       Terkadang aliran sungai pun ikut berselir melukai belahan yang sudah luka ini menjadi berdarah-darah. Kapankah akan keringnya? Itulah pertanyaan yang jalannya seperti aliran sungai itu. Hulu yang terlalu banyak cabangnya. Apakah iya akan lurus saja kemudian sampai di muara, ataukah dia berbelok menuju irigasi persawahan kemudian sampai diselokan dan akhirnya barulah sampai dimuara. Atau berbelok kemudian terhenti digenangan air mati.
        Ketakutan memang menciutkan segala potensi dalam diri ini. Sampai hari ini tidak ada yang bisa dilakukan oleh Adibah selain berlari dan berdiam diri. Hatinya ingin berteriak akan tetapi mulutnya terkunci kuat menahan amarahnya. Terkadang hanya tangis yang mampu menenangkan perasaannya dan membuatnya tidur lelap. Tidur membuat Adiba tidak ingin bangun lagi. Sebab saat tidur dunia sesuai keinginannya sangatlah mudah ia raih. Sedangkan dalam kenyataan tidak ada satupun yang berpihak dengan hatinya.
       Malam semakin larut, sesegukan tangis Adibah mulai menghilang. Suara pekikan Mamanya menghindari pukulan Ayahnya juga sudah menghilang. Kini yang tinggal hanya suara kodok yang sedang bernyanyi rindu akan rintikan hujan. Juga suara aliran sungai yang deras juga berbisik kearah kamar Adibah.
        Besok adalah hari yang baru. Semua masalah akan hilang dari permukaan bumi. Jadi tenang dan bersabarlah dulu Adibah. Rasa kopi tidak selamanya pahit sebab gula juga akan menemani saat kau menikmatinya. Begitu juga dirimu. Hari ini hujan lebat dimatamu. Esok lihatlah eloknya mentari mencoba menggirik helai selimutmu agar kau terbangun dan bergembira menikmatinya.
Tetaplah bersabar. Dan tetaplah bersemangat. Jangan biarkan kekacauan mengalihkan duniamu.[]
Padang, 03 Oktober 2018
Cerita yang sangat dalam maknanya bagiku.

Biodata penulis:
Bernama Welidayani, dilahirkan di gubuk kecil desa Ulu Bangau pada 25 oktober 1994 silam. Nama Pena: onni_weli sekarang kuliah di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Angkatan 2014 Fakultas Teknologi Pertanian di Universitas Andalas. “Menulis dengan Hati, Mengukir Prestasi”. Bila tak kutuliskan impianku, maka resah masa depanku. Apa yang dapat ku kisahkan dalam sejarah ini.
ig: @onni_weli fb: welidayani ciiwel

Wassalam

Komentar

  1. Semua ada timbal baliknya. Membuka mata kan buka juga jalan kedepannya. Teruslah menginspirasi kak :)

    BalasHapus

Posting Komentar