Jalan Hijrahku
Oleh: Welidayani
Menjadi mahasiswa baru adalah awal yang cukup berat, memutuskan untuk berhijrah. Memilih untuk
menjadi muslimah yang syar’i bukanlah
sesutu yang pernah terbesik di alam pikiran. Bahkan membayangkan memakai satu kali
saja tidak pernah. Apalagi semasa masih dikampung tidak pernah melihat
perempuan menggunakan jilbab yang dalam, selalu menggunakan rok panjang dan
kaos kaki. Namun, sebulan setelah kuliah dan berjuang dikampus keadaan menjadi
berbalik seratus delapan puluh derajat dalam kehidupan Ana. Dia harus membuang
semua impian-impiannya untuk bebas bercelana dan bergaya modis seperti artis
dalam sinetron favoritnya. Semua tidak mudah di terima oleh nalar dan pikiran
Ana, dia malah berpikir untuk pergi ke suatu tempat dan menjalani kehidupannya
sendiri.
Pikiran Ana semakin berkecamuk. Apalagi dia belum akrab
dengan teman satu jurusannya. Ada pun teman satu SMA dulu, juga sama saja
dengan kondisi di saat masih di bangku sekolahan. Ini membuat Ana semakin keras
hati dan tak mau berubah. Dia malahan sering melakukan perlawanan dan berbohong
bahwa dia sudah mau melakukan hijrah dengan baik. ada melakukan perubahan tapi
itu mungkin sedikit sekali.
Perlawanan ini terus berlangsung dilakukan Ana secara
diam-diam. Sama seperti perang dingin di Eropa, tidak ada kata dan hanya diam
berbulan-bulan bahkan sampai setahun. Diam-diam selama itu mengikuti trend anak hits menurut versinya sendiri, dan tidak ketahuan. Pengakuan hijrah
masih saja dipercayai, jika direntangkan dalam titik koordinat mungkin saja
tidak ada range yang meningkat, kalau pun ada pasti sedikit sekali.
“Habisnya aku ga
suka pemaksaan sih. Apalagi teman-teman terdekatku di luar sana belum ada yang
berpakaian benar-benar kayak dipesantren itu. Selama ini aku memilih untuk diam
dan ga banyak tampak di depan umum, Cuma cari aman aja” bisiknya sambil
tersenyum sinis.
Setiap hari Ana semakin banyak tingkah, membuat orang
lain risih kepadanya. Dia mulai tidak peduli dengan nasihat dan hanya mengikuti
keinginan sendiri. Bahkan janji yang dia buat dengan ayahnya akan menjadi anak
yang baik di kampus dan tidak akan pernah berpacaran mulai dia langgar. Amburadul
sudah semua promise yang telah
disepakati. Tenggelam sudah mata dan hatinya dengan kelamnya kehidupan. Ana telah
memilih jalan yang salah.
Sore itu adalah keputusan tergelap selama menjadi
mahasiswi baginya. Dia menerima cinta seorang laki-laki yang yang baru di
kenalnya itu. Namanya adalah Ikhsan. Semenjak Ana mengenal Ikhsan, banyak hal
yang ditemuinya. Dulunya dia hanya tahu kampus dengan banyaknya tugas kuliah,
pratikum dan laporan, kini juga sudah tahu bahwa di kampus itu perlu menjadi
mahasiswa aktivis. Aktivis itu apa sih? Seorang mahasiswa yang sibuk
teriak-teriak di jalan menyampaikan keresahan hatinya atau mahasiswa yang sibuk
rapat sampai tidak tahu dengan gelapnya malam. Aku awalnya mulai ragu, namun
rasa merubahnya menjadi penurut.
Tidak perlu berpikir lama-lama Ana pun mencari informasi
melalui Ikhsan, organisasi apa yang cocok untuk orang yang pecicilan ini. Fahri
pun menyarankan agar mengikuti organisasi yang sama dengan dirinya. Dengan
harapan bisa semakin dekat dengan fahri, dan Ana pun mau mendengarkan sarannya.
Namun apa yang terjadi, nasib berkata lain. Bukan semakin
dekat dengan Fahri tapi malah ada larangan untuk berkomunikasi dengan senior
apabila tidak penting. Ternyata kekuatan senior memang lebih dahsyat dari
apapun. Anak baru memang tak mampu berkutat dengan ketidakinginannya. Saat-saat
sebelum menjadi peserta berlaku baik dengan memberi perhatian. Ketika sudah menjadi
peserta dan menjalani program malah melakukan kekerasan fisik dan bathin.
Serasa menjadi ajang balas dendam, marah-marah, membentak, menyuruh keliling
lapangan dan menampar juga. Semua serasa berat. Apakah ini peringatan atas
dosa?
Ana kembali berpikir, apakah ini ujian kepada dirinya
yang sudah mengkhianati sebuah perjanjian? Selama ini semua orang selalu berprasangka
baik , semua yang dilakukan tak pernah di curigai. Dan sekarang malah
terperangkap dalam sarang serigala buatannya sendiri.
Waktu terus berjalan, semua yang terjadi akan menjadi
sejarah perjalanan hidup. Tidak ada yang perlu disesalkan, semua kejadian akan
menjadi pelajaran. Yang terpenting itu adalah bagaimana respon diri kedepannya.
Hijrah atau diam, maka dalam pikiran dan hati keputusan itu akan terjawab.
***
Tak di sangka satu semester telah berlalu. Liburan kuliah
yang panjang membuat semuanya berubah. Di tambah lagi dengan tempat tinggal yang
tidak sama lagi. Ini sangat berbeda. Bertemu dengan teman sekamar baru dan
orang-orang baru. “Ana sudah di asrama,” pikirannya untuk menjadi gadis hits juga sudah mulai memudar. Ingatan
dengan style yang diciptakannya juga
mulai berkurang.
Namun ingatan dan cintanya dengan Ikhsan masih saja
menghantuinya. Apalagi satu bulan lalu Ikhsan berjanji untuk setia dan memberinya
cincin sebagai buktinya. Dan saat itu pula rasa ketakutan akan janji kembali
mendekati Ana muncul nasehat-nasehat yang membuat Ana bungkam dan hanya
menganggukkan kepala dalam diam.
“Ana, bagaimana kabarmu? Kuliahmu baik-baik saja kah?”
“Bagaimana dengan
hijrah dan menutup auratmu, ada tetap terjaga dan amanah?”
“Ana, dunia kau
kejar tidak akan bertahan lama. Cantik atau gagah paras yang kau agungkan semua
akan berubah. Semua yang dirahasiakan pasti akan terbongkar. Cukuplah Allah
menjadi penolongmu dan istiqamahlah dijalan-Nya” hatinya terus bergolak.
Ingatan nasehat itu membuat Ana selalu berpikir, apakah
kebohongannya dan hubungannya dengan Ikhsan akan ketahuan? Berarti dia harus
mengakhirinya secepat mungkin lalu melupakan semuanya.
Selang beberapa hari setelah ketukan suara hati itu
membuat Ana semakin ragu akan menjadi seseorang yang berbeda. Ketakutannya pun
akan diceritakannya kepada Ikhsan. Kemudian ia mencoba menghubungi Ikhsan. Ia
berfikir jika berlama-lama terus memiliki hubungan dengan Ikhsan maka perasaan cintanya
dengan Ikhsan akan membuatnya tidak bisa pergi dan meninggalkan semua itu. Setelah kuliah di mulai, ana pun meminta
pertemuan dengan Ikhsan. Dan Ikhsani pun menyanggupinya. Di saat pertemuan
itulah dia menyampaikan kata perpisahannya.
“Ikhsan, maafkan aku. Aku tidak bisa lagi bersama
denganmu dengan hubungan seperti sekarang ini. Cukuplah kita berteman. Dengan
statusku yang sudah berubah menjadi seorang muslimah berhijrah menuntutku untuk
berperilaku seperti muslimah yang seharusnya. Berpacaran bukanlah jalan untuk
sebuah pernikahan dan kamu belum tentu akan mau menikah denganku. Maafkan aku
dan lupakan semuanya” ujar Ana sedikit tersedak.
“tidak bisakah kita tetap dekat, Ana? Setidaknya harapanku
bersamamu masih ada,” mencoba meyakinkan Ana.
Namun Ana pergi tanpa memperdulikan jawaban Ikhsan
sedikitpun. Kesedihannya akan perpisahan
ini tidak boleh terlihat oleh Ikhsan, sebab keputusan yang sudah bulat ini dan
dosa yang telah di perbuat ini akan dipertanggungjawabkan.
“Maafkan aku telah mengecewakan semuanya....”
***
“Aku bukan orang baik, tapi sedang belajar baik”
bisiknya.
Ana mulai memilih untuk mengambil keputusan
yang benar sesuai dengan isi hatinya. Tetapi tetap saja masa lalu membuat Ana
sulit untuk berubah. Terkadang di lihat dari fisik sudah membaik namun di
belakang masih saja menginginkan untuk bergandengan dengan sifat yang lama.
Malas sholat, sering batal puasa, tidak berjilbab itulah masa lalu yang kelam. Di
musim pulang kampung penyakit ini mungkin saja mewabah kembali dalam fisik dan
hati yang belum kuat ini. Memang semua harus dilakukan dengan perlahan tapi
pasti. Semuanya tidak mudah memang, tetapi akan ada jalan yang mengawal dan memberikan semangat di setiap perjuangan
ini.
Perjalanan hijrah memang terkadang terlihat sepele dan
mudah. Namun, dalam perjalanannya banyak hal membuatnya menjadi berat. Rasa tidak
percaya diri, rasa takut dengan hujatan orang lain, rasa kurang yakin dan
rendahnya rsa teguh pendirian dalam diri ini. Terutama dalam akhlak dan berhijab
syar’i, mungkin ini adalah perjalanan cukup lama dalam hidup untuk memprosesnya.
Apalagi ilmunya hanya sekedar dari bisik angin yang masuk ke telinga dan
kepala. Ada satu ayat yang selalu mengiringi jalan hijrahku, yaitu ayat 59 dalam
surah Al-Ahzab yang membuat aku semakin bersemangat dalam hijrahku.
“Wahai Nabi, katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang Mukmin,
“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka !” Yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak
di ganggu. dan Allâh adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Ahzâb/33:59)”
“Allah langsung yang memerintahkan, seharusnya
aku merasa takut. Jika Allah langsung menurunkan azab langsung gimana? Aduh ngeri
ya...” Ana sambil memejamkan mata dan menggigit kuku merasa ketakutan.
Hanya dengan mengingat nasehat-nasehat ustadz
dan memperbanyak membaca buku yang berhubungan dengan hijrah yang membuat Ana
semakin yakin dan kuat untuk bertahan melalui proses hijrahnya. Memang waktu
dan kesempatan membuat banyak hal-hal baru di temui dalam kehidupan.
***
“Kini nasi sudah
menjadi bubur, dan hanya perlu menambahkan garam dan bumbu agar rasanya menjadi
enak. Tidak perlu di sesalkan” lirihnya dalam hati.
Akhirnya Ana berusaha untuk mulai melepaskan semua
kepalsuan hidupnya satu-persatu yang menjadi beban hidupnya dan bertekad
benar-benar berubah. Tidak lagi pacaran, memperbaiki akhlak dan terus belajar
menggunakan jilbab syar’i. Tentunya
masih dalam paksaan, tahap demi tahap tapi pasti.
Keterpaksaan benar-benar jalan yang tepat untuk
memperbaiki diri. Memaksa semua anggota tubuh, pikiran dan hati untuk melirik
kearah lebih baik. Memaksa untuk mencari aktivitas yang lebih positif, membantu
dalam perubahan yang sulit ini. Tentu juga harus selalu berdampingan dengan
teman-teman yang saleh, agar iman ini semakin hari benar-benar kuat. Sehingga
ke istiqomahan berhijrah itu benar-benar terwujud.[]
Padang, 25 Juli 2019
“Wismaku,
Surgaku”
Komentar
Posting Komentar